Skip to main content

Tuesdays with Morrie

Selasa bersama Morrie,
Sebuah kisah nyata, pelajaran tentang Makna Hidup
Mitch Albom

Morrie tahu ia jadi korban nasib yang tak ada alasannya. Yang menarik adalah bahwa ia tak memilih untuk menjadi marah dan membuat oranglain jadi korban. Harapan baginya adalah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh. Tapi akhirnya ia memberi tahu kita : tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahannya. Bukankah itu juga harapam? (Goenawan Mohammad dalam "Harapan", Catatan pinggir, Tempo)




Ku tutup lembaran buku " Selasa Bersama Morrie " karangan Mitch Albom dengan memejamkan mata. Saat itu, ku berada di sebuah desa pinggiran kota Cairo. Sebuah desa asri dimana salah satu keajaiban dunia, Pyramida dan Spinx berdiri dengan kokohnya. Sebuah desa masyhur di kota Cairo, Giza namanya. Ku duduk di balkon lantai tiga sebuah rumah Islami. Rumah teman yang sangat aku sayangi, Iman. Seorang gadis Mesir cantik, dengan hidung bangir, kulit putih merona indah menawan hati. Seorang teman yang sedang menyelesaikan program study nya di Fakultas Kedokteran tingkat akhir Ain Shams University. Keluarga nya yang Ahlil Qur'an, seorang Ayah yang masyhur menjadi Syaikh di desanya, dan dua orang kakak perempuan nya ( Fatma dan Rabab ) yang hafal Al-Qur'an, Ibu dan adik laki-laki nya yang sangat ramah, menyambut hangat ziarah kami ( Roza, temanku dari Kazakstan dan aku ) di hari Jum'at pekan ini.

Udara musim dingin kota Cairo sore itu sangat dingin hingga menusuk tulang rusukku. Tapi pemandangan indah di depan mataku menafikan rasa dingin yang terus menerus menyerang. Pemandangan yang sungguh sangat menakjubkan. Tak henti-hentinya kuucap puji dan syukur kepada Allah SWT akan ciptaan-Nya yang sungguh akbar. Sejauh mata memandang tak terlihat di mana ujungnya, hamparan luas pohon-pohon kurma berbaris rapi bak bala tentara perang yang siap menyerbu musuhnya. Hijau dan hijau indah menjulang tinggi. Bismillâhi masyâ Allah. Terbersit di otakku andaikan kubisa menanamnya di negeriku.

Kututup buku itu perlahan, kupejamkan mata, dan kutarik nafas dengan lembut, kuhembuskan dingin ke luar. Alhamdulillah puji syukur kuucapkan kepada Allah Yang Maha Ghafur atas nikmat yang sangat besar, yang senantiasa Ia berikan kepadaku. Nikmat sehat, iman dan Islam.

Buku ini sangat tertegun aku dibuatnya. Membangunkan diriku dari lelapnya tidur selama beberapa tahun ke belakang. Mengingatkan dan memberitahu akan makna sebenar-benarnya hidup, apa sebenarnya yang sangat kita butuhkan dan apa sebenarnya yang penting dalam hidup kita.

“Sebuah kisah nyata seperti lembayung senja yang masih meninggalkan terang dan kehangatannya bagi kita.” (Amy Tan)


Kisah nyata seorang mahasiswa (Mitch Albom) dengan maha gurunya (Prof. Morrie Schwartz) yang pernah menjadi dosennya hampir 20 tahun lampau. Mistch kehilangan kontak dengan sang guru seiring dengan berlalunya waktu, banyaknya kesibukan dan semakin dinginnya hubungan antar manusia. Hingga akhirnya, suatu keajaiban telah mempertemukannya kembali pada bulan-bulan terakhir hidupnya. Morrie sang guru yang sangat bijaksana terguncang hebat ketika dokter sang ahli syaraf menyatakan dirinya menderita Amyotriphic Lateral Sclerosis (ALS) atau penyakit Lou Gehrig, sebuah penyakit ganas tak kenal ampun yang menyerang sistem syaraf dan mematikan, di Agustus 1994. Tetapi dengan adanya penyakit itu, tak henti-hentinya Morrie selalu dan selalu ingin bisa menghadirkan dirinya untuk orang-orang yang membutuhkannya. Tanpa adanya rasa putus asa, penyesalan diri atau pun kecewa. Diakhir sisa hidupnya Mitch senantiasa hadir dalam dirinya. Keakraban hidup kembali diantara guru dan murid itu, sekaligus menjadi sebuah "kuliah" akhir : kuliah tentang cara menjalani hidup. Setiap sepekan sekali di hari Selasa, kuliah itu dijadwalkan, di rumah sang profesor, dekat jendela ruang kerjanya, tempat ia dapat menikmati tanaman kembang sepatu dengan bunga-bunganya yang merah jambu. Tidak ada buku yang harus dibaca. Karena pokok bahasannya adalah makna hidup yang diajarkan melalui pengalaman.

Morrie Schwartz. Sang profesor dengan latar belakang keluarga yang tak begitu memperhatikannya. Ibunya meninggal ketika dia masih kecil, sedangkan ayahnya, Charlie Schwartz adalah sosok pria pendiam yang senang membaca korannya, sendirian dibawah cahya lampu jalan Tremont Avenue di Bronx. Ia seorang Rusia bertubuh kecil, bertampang kasar dan rambut yang memutih seluruhnya. Morrie dan adiknya, David, biasa memandang keluar jendela dan menemukan sang ayah bersandar pada tiang lampu, padahal Morrie ingin ia berada didalam rumah, berbincang-bincang dengan mereka, tetapi itu jarang diperbuatnya. Ia juga tidak pernah memeluk atau memberikan kecupan selamat tidur yang mereka dambakan.

Morrie selalu bernadzar bahwa ia akan melakukan semua itu kepada anak-anaknya sendiri dan bertahun-tahun kemudian, ketika ia mempunyai anak, ia mewujudkan nadzarnya.

Sementara itu, ketika Morrie telah membangun keluarganya sendiri, Charlie ( ayahnya) masih tinggal di Bronx. Ia masih melakukan kebiasaannya dulu, jalan-jalan dan membaca koran dibawah lampu jalan sampai pada suatu malam ia dicegat oleh 2 orang penjahat meminta uangnya. Karena ketakutan, Charlie melemparkan dompetnya ke tanah dan langsung lari. Terus berlari sampai ia jatuh tak sadarkan diri dan terkena serangan jantung hingga meninggal malam itu juga. Morrie dihubungi petugas dan segera terbang ke New York. Dipandanginya mayat ayahnya yang berada dibalik kaca, tubuh orang yang sering berkata kasar kepadanya, orang ynag membentuk dan mengajarinya menjadi pekerja keras dan yang diam saja ketika Morrie ingin mengobrol dengannya. Ia mengangguk dan pergi. Suasana mencekam saat itu. Beberapa hari setelah itu, barulah ia bisa menangis. Dan senantiasa dalam hidup Morrie selalu akan banyak peluk, cium, tukar pikiran, canda, tawa dan salam perpisahan, semua yang tak pernah dialaminya bersama ayah dan ibunya. Manakala saat akhirnya tiba, Morrie ingin selalu semua yang dicintainya berada didekatnya. Ia ingin tetap sadar tentang semua yang tengah terjadi. Tidak ada yang sampai menerima berita kematiannya lewat telepon, telegram atau hanya sempat melihatnya lewat jendela kaca di kamar mayat yang dingin. Di setiap hari selasa, Mitch dan sang guru yang bijaksana senantiasa mengadakan perkuliahan santai, dari hari selasa pertama sampai hari selasa ke empat belas. Perkuliahan itu berlangsung dengan penuh kelembutan, kehangatan dan kasih sayang. Dengan penyakitnya yang ganas itu Morrie selalu memberikan pengalaman-pengalaman hidupnya yang sangat berarti. Berbicara tentang dunia, tentang mengasihani diri sendiri, tentang penyesalan diri, tentang kematian, tentang keluarga, tentang emosi, tentang takut menjadi tua, tentang uang, tentang cinta yang tak padam, tentang perkawinan, tentang budaya, tentang maaf, tentang hari yang paling baik dan tentang ucapan kata perpisahan.

Hari-hari perkuliahan itu, bagi Mitch adalah hari-hari yang paling berarti. Mitch memiliki kakak perempuan dan adik laki-laki. Watak dan kehidupan Mitch dengan adik laki-lakinya sungguh berbeda. Dalam keluarganya, Mitch anak yang paling pandai dan penurut, menjauh dari alkohol dan obat bius. Sedangkan adik laki-lakinya sebaliknya. Adil laki-lakinya pindah ke Eropa tidak lama setelah tamat dari sekolah menengah, dengan alasan lebih menyukai gaya hidup lebih santai yang dijumpainya disana. Tetapi, walaupun demikian ia tetap menjadi anak kesayangan. Setiap kali pulang ke rumah dengan penampilannya yang liar dan menggugah tawa, Mitch sering merasa bahwa dia adalah sosok yang kaku dan kolot. Dengan perbedaan seperti itu, Mitch membayangkan bahwa nasib mereka akan saling berlawanan. Dan dugaannya tepat, kecuali satu hal. Setelah kematian pamannya karena penyakit yang ganas, Mitch percaya bahwa dia akan mati dengan penderitaan yang serupa. Itu sebabnya dia bekerja seperti kesetanan. Mitch percaya kanker pankreas yang menyerang pamannya pasti akan datang kepadanya. tetapi ternyata yang kena justru adiknya. Anggota paling muda di keluarga Mitch yang rambutnya pirang dan matanya coklat terang, harus menjalani kemoterapi dan radiasi. Rambutnya rontok, wajahnya menjadi cekung seperti tengkorak. Pengobatan yang dijalani selama 5 tahun tampaknya kanker mulai kalah. Tetapi adik Mitch tidak ingin didekati olehnya atau oleh siapa pun dari keluarganya. Mitch selalu berusaha untuk menghubungi dan menjenguknya, tapi adiknya senantiasa menjaga jarak dan bersikeras lebih suka melawan penyakitnya sendirian. Hal inilah yang menjadi penyesalan Mitch, kenapa penyakitnya itu tidak melandanya saja.

Dengan perkuliahan yang senantiasa hadir di selasa itu, Mitch menemukan arti dan pelajaran tersendiri dari sang gurunya. Tentang hidup sang guru yang sudah tak berdaya akibat penyakit ganas yang menggerogoti tubuhnya, selalu duduk di kursi rodanya. Penyakitnya itu menyerang sampai dia tak berdaya melakukan apa pun, dari mulai tak bisa menggerakkan kaki dan kelumpuhan pun terjadi, sampai pada satu titik privacy bahwa dia tidak mampu menceboki dirinya sendiri. Namun sang guru ini selalu mengatakan bahwa dia selalu bersiap diri menerima keadaan itu, dan akan berusaha menikmati proses itu.

Ia senantiasa menulis untaian-untaian ungkapan filosofis tentang hidup dibawah bayang-bayang kematian :

* Terima apapun yang sanggup kau kerjakan dan apapun yang tak sanggup kau kerjakan. Terimalah masa lalu sebagai masa lalu, tak usah menyangkal atau menyingkirkannya. Belajar memaafkan diri sendiri dan memaafkan oranglain. Tak ada istilah terlambat untuk memulai.
* Selama kita dapat saling mencintai, dan mengingat rasa cinta yang kita milliki, kematian tidak dapat membuat kita harus berpisah. Semua kisah yang kita berikan akan tetap ada. Semua kenangan tentang itu masih ada. Kita akan hidup terus dalam hati siapa pun yang pernah kita sentuh dengan kasih sayang.
* Kematian mengakhiri hidup tetapi tidak mengakhiri suatu hubungan.
* Kemana aku pergi ada saja orang yang bernafsu ingin memiliki apapun yang baru. Sebuah mobil baru, sebidang tanah baru, mainan terbaru. Dan kemudian mereka juga bernafsu menceritakannya kepada kita, " Coba lihat apa yang baru aku beli?"

Morrie berkata : " kau tau bagaimana aku menafsirkan semua itu? Yang sangat didambakan oleh orang-orang ini pada dasarnya adalah kasih sayang namun karena tidak mendapatkannya, mereka mencari ganti dalam bentuk-bentuk yang lain. Mereka mengikatkan diri pada harta benda dan mengharapkan semacam kepuasan dari situ. Akan tetapi usaha mereka tidak pernah berhasil. Kita tidak dapat menukar cinta, kelembutan, keramahan atau rasa persahabatan dengan harta benda. Harta tidak pernah dapat menggantikan kasih sayang begitu juga kekuasaan.

* Tentang mencari makna hidup.

Abdikan dirimu untuk mencintai sesama, abdikan dirimu kepada masyarakat sekitar, dan abdikan dirimu untuk menciptakan sesuatu yang mempunyai makna dan tujuan bagimu

* Kalau kau berusaha memamerkan prestasimu kepada kalangan atas agar kamu diterima oleh mereka, upayamu akan gagal. Meskipun sesekali mereka akan menengokmu kebawah. Dan jika kau berusaha memamerkan keberhasilanmu kepada mereka yang kurang beruntung agar kau diakui oleh mereka, kau juga akan gagal. Mereka hanya akan iri kepadamu. Diatas tidak diterima, dibawah pun tidak diakui. Hanya dengan hati terbuka kau akan diterima dan diakui oleh semua orang.
* Berbuat apapun yang sesuai dengan kata hati. Apabila kita berbuat demikian, kita tidak akan merasa kecewa, kita tidak akan merasa iri, kita tidak akan mendambakan milik oranglain. Sebaliknya kita akan kewalahan dengan ganjaran yang akan kita terima.
* Jangan pergi terlampau cepat, tapi jangan pula tinggal terlalu lama.
* Cinta adalah ketika kau peduli dengan situasi yang tengah dihadapi oleh seseorang dengan kepedulian sama seperti terhadap situasimu sendiri.

Kata-kata tersebut hanya sebagian kata-kata bijak dalam kehidupan Morrie. Ada pun gambaran bagaimana kebijaksanaannya, anda dapat membaca lebih jelas dalam novel ini. Sebuah kisah nyata ini, sangat menggugah hatiku. Lama ku berfikir dan merenung. Tuesdays with Morrie telah mengingatkan kembali dari sebuah makna kehidupan. Mengingatkanku akan sosok kedua orangtua yang sangat aku rindukan kehadirannya, ku rindukan kasih sayangnya, ku rindukan hangat peluk darinya, ku rindukan nasehat-nasehat dan kata-kata bijaknya. Mengingatkan akan semua keluarga, teman sejawat, guru-guru yang senantiasa ku cinta dan ku ingat selalu dalam setiap doa siang malam. Kerinduan akan seseorang yang senantiasa sabar dan arif, yang dapat memahamiku, membantuku memandang dunia sebagai tempat yang indah dan memberitahuku cara yang terbaik untuk mengarunginya.

Kisah yang dikemas dengan kata-kata yang mudah difahami dan mudah tergambar di benak kita. Begitu banyak memperlihatkan akan kasihsayang, situasi yang sangat mengharukan dan menyentuh hati.

Duduk, ku diam memandangi alam Negeri para Nabi ini. Nun jauh disana orangtua, keluarga dan orang-orang yang ku sayangi menanti. Kerinduan mulai merasuk dalam sukma. Semilir angin dingin sore ini menyayat-nyayat rasa rindu kepada semuanya. Terbesit gambaran bayang-bayang Prof. Morrie ketika terbaring tak berdaya diakhir hayatnya. Teringat langsung wajah orang-orang yang sangat ku sayangi yang lama sekali tak kujumpa dan tak dapat kabar darinya. Dimanakah kalian semua? Adakah kalian mengingatku? Ku kan selalu mengingat kalian dalam setiap doaku…

Oh Tuhan,,, alam fana ini…. Menyimpan berjuta memory.

"semoga kita semua senantiasa mengerti dengan tujuan apakah Allah SWT menciptakan makhluk-Nya di muka bumi?"

"semoga kita semua senantiasa dalam lindungan dan kasihsayang Allah SWT"




Giza, 7 November 2008



Comments

Andy Hariyono said…
"Kematian mengakhiri hidup tetapi tidak mengakhiri suatu hubungan"

ijinkan saya mengutip hadits Rasul Saw, yang -maaf kurang lebih- maksudnya "orang yang paling cerdas adalah orang yang mempersiapkan dirinya untuk kehidupan setelah matinya.

mungkin kita perlu mengadakan gerakan "Gemar mengingat kematian, aga gemar beramal!"

Popular posts from this blog

Kerinduan

Wanita memang selalu ingin dimengerti, Wanita memang selalu ingin dipuji, Wanita memang selalu ingin dikasihi, Wanita memang selalu ingin disayangi, Wanita memang selalu ingin dicintai, Sayang, Ketahuilah bagaimana rasa sayang ini Ketahuilah bagaimana rasa cinta ini Ketahuilah bagaimana rasa rindu ini, Sayang ini sangat mendalam Cinta ini sangat menyatu dalam jiwa dan raga Rindu ini sangat menggebu,  Mengalir dalam darah Melebur dalam tulang dan rusuk kehidupan Menghembus dalam setiap nafas Sayang, Inginku kau tau itu Inginku kau mengerti itu Inginku kau selalu tau Bahwa aku selalu merindukanmu Bahwa aku selalu menanti kehadiranmu Bahwa aku selalu menunggu kedatanganmu Sungguh rindu ini, Sangat menyiksaku, Selalu dan selalu, Kan ku ucapkan selalu untukmu Really I love you Really I need you Really I miss you For my love hubby: I LOVE YOU Really I miss the time together

:: Being Model part.1 *Lady in Red* ::

Taken 21-04-2007 http://up2datetrimoda.com/ :: Summer style with eyeglasses ::

Tak sebenar yang kau katakan

" Udahlah Yasmin, kenapa mesti kamu pikirkan hal itu!!!" Cairo malam ini, terasa sunyi dan sepi, bulan pun tak menampakkan wajahnya yang putih bersinar menerangi alam, hewan-hewan malam pun tak terdengar suaranya sama sekali, entah pada sembunyi kemana aku pun tak tahu. Aku yang sedang duduk santai memandang ke arah langit yang suram, sambil mendengarkan lagu favoritku " Je ne Vous oblie pas" Celine Dione dari komputerku yang sangat syarat dengan virus ini, mengingatkanku akan satu hal yang tak pernah ku lupakan. "Uff, hal itu kenapa harus terulang kembali dalam kehidupanku,.." selalu terbesit kata-kata ini diotak dan lubuk hatiku. " Yasmin,.. udah malam,, tidur dulu, lusa kita ujian!!" kata Viona sambil menepuk punggungku, dan buyarlah sudah alam fana ku dengan hayalan-hayalan yang tak menentu. " Vi,... kamu ada waktu gak sekarang?? Hatnami walla…? " belum juga selesai kata-kataku, Viona langsung menjawab,." Fi, Tob'an !!