Air mata zuhud membisu di pipi
dalam gemuruh gerincing genta hati
Duhai siapakah dikau
apa yang mengganjal di bilik-bilik hatimu?
Mengapa air matamu bercucuran?
rupamu seperti upacara kematian
Gurat-gurat zuhud di wajahmu
telah memupus habis semua cerita masa lalu itu
Duhai kekasih, ada apakah?
dengan yakin telah kutekadkan hijrah
Aku jemu dan ingin istirahat
kota membuatku lelah dan semakin menyesakkan dada
Bangsa gurun pun merangkai cerita, sambung-
menyambung mengaliri jiwa
berkeluh kesah karena kepergiannya
Mencurah tetes-tetes kerinduan, yang tak bisa tidur
karena cintanya
Wahai Jundub, dimana dikau berada?
kekasih pulang memotong pasir berpadang sendirian
berkendara malam
temannya lima serigala semata
tempat-tempat sunyi yang dia singgahi
menggengga langkahnya tak rela ditinggali
Kekasih tiba, lalu berkata
wahai bumi, wahai pasir. Ambil aku, kafani aku,
kurindu dikau jadi kuburku
Negaraku batinku, kekayaanku keyakinanku
jika tiba waktuku, makanan ku tak perlu
Dunia mengusir, aku terbang. dengan kaki pelbagai
negeri tak lebih pesringgahan
Aku hidup sendirian. sementara di pinggiran jutaan
manusia bak berseri-gala gelap nan hitam
Mereka limpahi aku harta. " Heh, apa urusanku, harta
bukan keluh kesahku."
Mereka bujuk aku, kuancam mereka
Mereka ancam aku dengan kematian, kubujuk mereka
sampai mulutku berbusa
mereka tunggangi aku, aku turun. Kutunggangi
tekadku, mereka turunkan aku
Kutunggangi nafsu demi kebenaran. Apa bisa mereka?
Kematian kukejar, ia lari. Maut kuburu, ia mengantuk
Pasir-pasir meratapi keterasinganku. " O Abu Dzar,
jangan kau takut jangan kau bersedih."
Aku tidak takut. Aku masih muda. Dan aku takkan mati
sampai leherku tergorok
Aku telah berikrar kepada Sahabat dan Kekasihku
harapan-harapannya kan kujadikan pelajaran
Sedang mereka hendaki kemustahilan
mengimingi harta padaku, memamerkan Dinar-Dinar
memabukkan bagai anggur
Aku tak ingin harta, jiwaku telah kujaga
simpanlah kekayaanmu, kepalaku lebih keras darinya.
Semuanya tak kuinginkan
Bebaskan saja langkahku. Biarkan aku kelilingi bumi
bagai matahari sirami pohon-pohon taman dengan air
mata
Berbisik-bisik pada bunga-bunga
disanalahh kemahku. Disanalah tempatku
Biarlah angin jadi tembang dan instrumen laguku
sang kekasih pergi lagi
Suaranya menyayup-sayup diatas debu
tekad-tekad lalu layu bagai kebanggaan yang surut
Tak kudengar lagi sirahnya
terbungkus malam-malam abad yang panjang
Kuncir-kuncir zuhudnya telah terurai
" Kekasih, dimanakah pusakamu untuk dinikmati
pecinta harta?
Dimanakah kau labuhkan hartamu, selendangg yang
lapuk oleh malam?
Dimana kau tinggalkan tongkatmu? Dimana kau simpan
perisaimu?."
dalam gemuruh gerincing genta hati
Duhai siapakah dikau
apa yang mengganjal di bilik-bilik hatimu?
Mengapa air matamu bercucuran?
rupamu seperti upacara kematian
Gurat-gurat zuhud di wajahmu
telah memupus habis semua cerita masa lalu itu
Duhai kekasih, ada apakah?
dengan yakin telah kutekadkan hijrah
Aku jemu dan ingin istirahat
kota membuatku lelah dan semakin menyesakkan dada
Bangsa gurun pun merangkai cerita, sambung-
menyambung mengaliri jiwa
berkeluh kesah karena kepergiannya
Mencurah tetes-tetes kerinduan, yang tak bisa tidur
karena cintanya
Wahai Jundub, dimana dikau berada?
kekasih pulang memotong pasir berpadang sendirian
berkendara malam
temannya lima serigala semata
tempat-tempat sunyi yang dia singgahi
menggengga langkahnya tak rela ditinggali
Kekasih tiba, lalu berkata
wahai bumi, wahai pasir. Ambil aku, kafani aku,
kurindu dikau jadi kuburku
Negaraku batinku, kekayaanku keyakinanku
jika tiba waktuku, makanan ku tak perlu
Dunia mengusir, aku terbang. dengan kaki pelbagai
negeri tak lebih pesringgahan
Aku hidup sendirian. sementara di pinggiran jutaan
manusia bak berseri-gala gelap nan hitam
Mereka limpahi aku harta. " Heh, apa urusanku, harta
bukan keluh kesahku."
Mereka bujuk aku, kuancam mereka
Mereka ancam aku dengan kematian, kubujuk mereka
sampai mulutku berbusa
mereka tunggangi aku, aku turun. Kutunggangi
tekadku, mereka turunkan aku
Kutunggangi nafsu demi kebenaran. Apa bisa mereka?
Kematian kukejar, ia lari. Maut kuburu, ia mengantuk
Pasir-pasir meratapi keterasinganku. " O Abu Dzar,
jangan kau takut jangan kau bersedih."
Aku tidak takut. Aku masih muda. Dan aku takkan mati
sampai leherku tergorok
Aku telah berikrar kepada Sahabat dan Kekasihku
harapan-harapannya kan kujadikan pelajaran
Sedang mereka hendaki kemustahilan
mengimingi harta padaku, memamerkan Dinar-Dinar
memabukkan bagai anggur
Aku tak ingin harta, jiwaku telah kujaga
simpanlah kekayaanmu, kepalaku lebih keras darinya.
Semuanya tak kuinginkan
Bebaskan saja langkahku. Biarkan aku kelilingi bumi
bagai matahari sirami pohon-pohon taman dengan air
mata
Berbisik-bisik pada bunga-bunga
disanalahh kemahku. Disanalah tempatku
Biarlah angin jadi tembang dan instrumen laguku
sang kekasih pergi lagi
Suaranya menyayup-sayup diatas debu
tekad-tekad lalu layu bagai kebanggaan yang surut
Tak kudengar lagi sirahnya
terbungkus malam-malam abad yang panjang
Kuncir-kuncir zuhudnya telah terurai
" Kekasih, dimanakah pusakamu untuk dinikmati
pecinta harta?
Dimanakah kau labuhkan hartamu, selendangg yang
lapuk oleh malam?
Dimana kau tinggalkan tongkatmu? Dimana kau simpan
perisaimu?."
Comments